Kenaikan harga minyak dunia pada pertengahan tahun 2008 yang telah menembus harga di atas US$ 145 per barel telah melonjakkan harga-harga pangan secara dramatis, terutama harga komoditas strategis seperti gandum, beras, daging, dan susu. Sebagian besar negara yang memiliki sumberdaya alam berlimpah, saat ini sedang mengembangkan bahan bakar biologi (biofuels), yang juga telah mendorong permintaan terhadap minyak nabati dunia menjadi meningkat pesat. Kebijakan pengembangan biofuels di negara-negara maju (dan negara-negara berkembang) telah menyebabkan perubahan fokus pemanfaatan komoditas pangan dan pertanian, tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan, tapi juga untuk memenuhi kebutuhan energi. Hal ini mengakibatkan harga minyak nabati dan lemak yang dapat digunakan untuk energi menjadi meningkat tajam. Konsep Hutan Energi sengaja dikembangkan untuk meminimalisasi dampak buruk dari adanya kebijakan konversi bahan bakar minyak ke gas, khususnya di sektor industri yang selama ini banyak memanfaatkan minyak tanah sebagai bahan bakar utamanya, seperti omprongan tembakau serta industri kecil lainnya. Kelangkaan minyak tanah dan belum maksimalnya distribusi gas sebagai bahan bakar pengganti mengakibatkan masyarakat cenderung kembali memanfaatkan kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan energinya baik untuk kebutuhan rumah tangga maupun bahan bakar industri. Dan jika hal ini di biarkan secara terus menerus maka dikhawatirkan akan mengancam keberadaan kawasan hutan yang selama ini telah tergerus oleh laju deforestasi.
Bagaimana dengan Lombok
Pulau Lombok, dengan luas wilayah 4.738,70 Km2, (32,4 %) dari total wilayah provinsi NTB, didiami sekitar 3.015.245 jiwa (70,8 %) dari keseluruhan penduduk NTB yang berjumlah 4.257.306 jiwa. Mata pencaharian pokok adalah bertani dengan jenis komoditas yang utama adalah tanaman padi, palawija dan tembakau. Saat ini kondisi biofisik hutan dan lingkungan sudah cukup menghawatirkan. Luas lahan kritis di dalam kawasan hutan mencapai 43.064,02 ha (26,4 %), mengakibatkan hilangnya sejumlah mata air dan penyusutan debit air. WWF Nusra, 2007 menyebutkan Pulau Lombok telah mengalami defisit ketersediaan air sebesar minus 1.178,45 mcm. Disisi lain, kebijakan pemerintah untuk menghapus subsidi Bahan Bakar Minyak Tanah (BBMT) di tahun 2011, tentu akan mempersulit kelancaran proses pengomprongan tembakau yang saat ini mencapai sekitar 13.500 unit. Kebijakan tersebut dikhawatirkan justru memperparah kondisi hutan akibat konversi BBMT ke kayu bakar. Saat ini PT HM Sampoerna Tbk. bersama dengan supplier yakni PT Sadhana Arif Nusa dan Lembaga Transform telah merencanakan satu program pengembangan Hutan Energi untuk memenuhi suplai bahan bakar kayu. Untuk tahap awal akan dikembangkan pada lahan seluas 5000 ha, yang diperkirakan akan mencukupi kebutuhan kayu bakar khusus bagi oven tembakau milik petani mitra. Program tersebut merupakan bentuk komitmen PT HM Sampoerna Tbk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan, dalam rangka mendorong pelestarian lingkungan dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Arah program ini untuk mengembangkan sumber pendapatan alternatif bagi petani, memperbaiki infrastruktur dasar yang menunjang ekonomi, pengorganisasian dan pengembangan kapasitas kelompok tani, dan pendidikan lingkungan hidup untuk membangun kesadaran publik berkaitan dengan kerusakan lingkungan hidup dan upaya penyelamatannya.
Jeringo sebagai site Program
Jeringo merupakan salah satu dusun yang terletak di kaki Gunung Rinjani, dengan lima kampung yaitu Sengalang-alang, Sesager, Jeringo, Kuang Renga dan Pesiringan. Jeringo menjadi dusun yang terletak di sebelah timur kaki Gunung Rinjani dengan tipe iklim D menjadikan Jeringo sebagai perkampungan yang relatif kering. Tidak banyak tumbuhan peneduh yang dapat tumbuh disepanjang jalan menuju jeringo. Sebagai daerah yang terletak di daerah pegunungan, Jeringo dapat disebut sebagai perkampungan yang sangat terisolir. Betapa tidak, berbagai sarana prasarana di perkampungan ini belum memadai. Sebut saja sarana transportasi, pendidikan, kesehatan dan sarana pendukung lainnya masih sangat minim. Berdasarkan kondisi tersebut banyak orang mengatakan bahwa Jeringo termasuk salah satu perkampungan miskin dan terbelakang. Keadaan sosial masyarakat di dusun ini pada umumnya tidak jauh berbeda dengan masyarakat di dusun-dusun lain di Desa Perigi, karena kondisi wilayah yang mereka tempati keadaannya hampir sama yaitu wilayah yang sangat kekurangan air dan relatif kering. Umumnya mereka merupakan pendatang yang pada awalnya bertani (berladang), lama kelamaan membangun rumah dan menetap di lokasi garapan. Sebagian besar rumah masyarakat Jeringo masih menggunakan alang-alang sebagai atap dan berdindingkan anyaman bambu (bedek). Jumlah penduduk Dusun Jeringo sebanyak 800 jiwa (267 KK). Rata-rata keluarga memiliki 3 orang anggota keluarga. 60% dari penduduk Jeringo adalah perempuan (480 jiwa), laki-laki (320 jiwa) yang tersebar di lima kampung dengan mata pencaharian utama pada sektor pertanian. Dari data penerima BLT jumlah KK miskin Dusun Jeringo sebanyak 189 KK (70%). Terlepas dari kondisi ekonomi, masyarakat Jeringo masih kental dengan semangat Gotong Royong, hal ini dapat dilihat dari berbagai aktivitas sosial kemasyarakatan yang sarat dengan kebersamaan.Tingkat pendidikan masyarakat Jeringo masih rendah, hal ini terbukti dengan tingkat buta huruf mencapai 50% untuk usia 20 tahun ke atas. Lulusan SMA hanya satu orang, lulusan SMP 14 orang dan sisanya merupakan lulusan SD. Namun saat ini tingkat kesadaran akan pentingnya pendidikan cukup tinggi, terbukti dengan hampir semua anak usia sekolah dasar bersekolah. Sementara untuk melanjutkan ke SMP masyarakat masih belum mampu, hal ini disebabkan lokasi sekolah SMP cukup jauh sehingga membutuhkan biaya transportasi yang besar.