Oleh: Mas’ud (Advisor Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan Advokasi Kebijakan di Lembaga Transform)
Perubahan iklim adalah perubahan pola dan intensitas unsur iklim dalam periode waktu yang sangat lama. Bentuk perubahan berkaitan dengan perubahan kebiasaan cuaca atau perubahan persebaran kejadian cuaca. Perubahaan Iklim telah terjadi, berdampak pada negara-negara di asia pasifik maupun benua lainnya di dunia. Tanda-tanda terjadinya perubahaan iklim dapat dilihat dari kondisi dan trend suhu global antara 30 – 100 tahun terakhir dan yang akan datang yang bergerak merangkak naik sebesar 0,43 derajat Celcius, yang ditandai dengan peningkatan pemanasan permukaan bumi secara global. Akibat dari kenaikan pemasan suhu global menyebabkan pola musim berubah disetiap negara, gledser di kutub utara dan selatan mengalami pencairan yang lebih cepat sehingga menimbulkan kenaikan muka laut. Kenaikan suhu global menyebabkan intensitas frekuensi dan durasi suhu harian dan musiman yang ekstrem, seperti ; perubahan pola curah hujan pada musim panas dan musim penghujan, gelombong panas dan bentuk perubahan lainnya.
Indonesia salah satu negara kepulauan dan menjadi bagian integral dari rumpun negara-negara di dunia, pada saat ini telah mengalami kejadian perubahaan iklim diseluruh wilayahnya. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya kejadian cuaca ekstrem, pola intensitas dan frekuaensi bencana hidrometreologi yang meningkat, seperti; banjir, kekeringan, longsor, angin putting beliung serta abrasi. Bukti terjadi perubahan iklim ditandai dengan adanya kenaikan suhu dan perubahaan pola intensitas curah hujan yang mempengaruhi periode musim yaitu; musim kemarau dan musim penghujan. Saat ini telah terjadi pergeseran pola musim kemarau dan musim penghujan dimana terkadang musim kemarau lebih panjang dari musim penghujan ataupun sebaliknya. Situasi ini sangat berdampak bagi masyarakat pada aspek kehidupan, seperti ; ekomoni, social dan lingkungan.
Provinsi Nusa Tenggara Barat kejadian bencana dampak dari perubahan ikllim lebih besar dibandingkan dengan bencana non iklim. Dalam kurun waktu 8 tahun (2014-2021) proporsi kejadiannya rata-rata 86,21%. Berdampak pada beberapa aspek kehidupan seperti; ekonomi, social dan lingkungan (Data BPBD NTB). Kabupaten Lombok Tengah pernah mengalami 29 kali kejadian bencana dalam rentang waktu 1979-2016, yang meliputi 6 (enam) jenis bencana yaitu banjir, gelombang ekstrim dan abrasi, gempabumi, kekeringan, cuaca ekstrim dan tanah longsor. Selain 6 (enam) jenis bencana tersebut, Kabupaten Lombok Tengah masih menyimpan potensi bencana lainya, dari pengkajian risiko bencana dari BNPB. Terdapat 10 potensi bencana yang mengancam wilayah Kabupaten Lombok Tengah dilakukan pengkajian risiko bencananya. Pengkajian risiko bencana berpedoman pada Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana dan referensi pedoman lainnya yang ada di kementerian/lembaga di tingkat nasional. Kajian Risiko Bencana (KRB) merupakan mekanisme terpadu untuk memberikan gambaran menyeluruh terhadap risiko bencana suatu daerah dengan menganalisis tingkat bahaya, tingkat kerentanan, dan tingkat kapasitas daerah.
Dampak perubahaan iklim sangat berpengaruh terhadap ketahanan dan kerentanaan pangan dibeberapa wilayah di kabuapten Lombok tengah. Berdasarkan data Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan yang direlease oleh dinas Ketahanan Pangan Provinsi NTB tahun 2021, terdapat 63 (45,32 %) desa dari total 139 desa yang masuk kategori Desa rawan pangan dengan kategori prioritas 1, 2 dan 3. Kerentanan dalam mengalami kejadian bencana hidrometreologi selama 5 tahun terakhir dari 2017 hingga 2021 rata rata sebanyak 8,2 kejadian bencana, dimana kejadian tertinggi pada tahun 2021 sebanyak 15 kejadian dan terendah pada tahun 2018 sebanyak 4 kejadian. Kejadian bencana metrohidrologis didominasi oleh 2 kejadian bencana yang dominan, yaitu: kejadian bencana banjir dan angin putting beliung. (Sumber Data BPBD Provinsi NTB 2021 diolah).
Sektor pertanian sebagai salah satu isu strategis di Lombok Tengah, sangat berkaitan dengan situasi dan kondisi saat sekarang terkait dengan perubahan iklim. BMKG NTB menggambarkan terdapat trend kenaikan suhu udara rata – rata di Nusa Tenggara Barat, baik di Pulau Lombok maupun di pulau Sumbawa yaitu (0.02⁰C per tahun) dan telah meningkat menjadi 1 ⁰C . Pada bulan Agustus 2019 media Suara NTB merelease, Kabupaten Lombok Tengah mencatat sekitar 1.116 hektar lahan pertanian di daerah ini mengalami kekeringan dan besar kemungkinan mengalami gagal panen jika tidak ada suplai air baku. Kekeringan terparah terjadi di lima kecamatan, yakni Kecamatan Pujut, Praya Timur, Praya Tengah, Praya Barat serta Kecamatan Praya Barat Daya. Cara yang dilakukan masyarakat bersama pemerintah adalah dengan melakukan pompanisasi di daerah-daerah yang masih memiliki sumber air baku maupun upaya terpadu lainnya. Kebijakan Bappenas tahun 2021 tentang Pembangunan Berketahanan Iklim (PBI) dalam upaya meningkatkan daya lentur/lenting masyarakat kelompok rentan, seperti; Perempuan miskin, Perempuan manula, kelompok disabilitas, petani dan buruh tani.
TRANSFORM bersama masyarakat, pemerintah, swasta dan NGO melakukan pembelajaran di desa Marong kecamatan Praya Timur, untuk peningkatan kapasitas individu, kelembagaan, dan pendampingan, seperti melakukan diskusi partisipatif bersama masyarakat untuk membangun pemahaman bersama terkait perubahan iklim yang sekaligus untuk mengumpulkan data dan informasi-informasi penting dan menarik bagi masyarakat rentan; kelompok perempuan miskin, Perempuan manula, kelompok disabilitas, petani dan buruh tani, serta kelompok masyarakat lainnya, untuk melakukan kerja-kerja advokasi kebijakan. Program ini atas dukungan dari Kedutaan Belanda yang diimplementasikan TRANSFORM bersama PATTIRO yang tergabung dalam konsorsium VICRA (Voice Inclusiveness for Climate Resilient Action ) saat sekarang melakukan Program Advokasi Kebijakan Terkait Perubahan Iklim di kabupaten Lombok Tengah.
Pembelajaran bersama masyarakat terkait perubahan iklim ini, bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dalam melihat dan memahami situasi pada tingkat kerentanan dan kapasitas yang ada pada mereka, baik yang sudah mereka lakukan maupun upaya-upaya yang akan dilakukan sehingga mereka dapat meminimalisir dampak dari perubahan iklim. Memperkaya dan memperluas pembelajaran bersama masyarakat, terutama pada kelompok rentan dalam kegiatan-kegiatan untuk adaptasi perubahan iklim, merupakan wujud positif dalam mengurangi resiko dampak perubahan iklim bagi masyarakat. Sebagaimana yang tertuang dalam (KLHK No. 33/2016),; Adaptasi Perubahan Iklim adalah Suatu proses untuk memperkuat dan mengembangkan strategi dan tindakan untuk mengatasi dampak perubahan iklim yang diarahkan untuk mengurangi dampak negatif dan mengoptimalkan dampak positif. Seiring juga dengan tujuan dari strategi adaptasi perubahan iklim Indonesia ( NDC- Nationally Determined Contribtion) adalah untuk mengurangi risiko, meningkatkan kapasitas adaptif, memperkuat ketahanan, dan mengurangi kerentanan terhadap perubahan iklim di semua sektor pembangunan pada tahun 2030 melalui peningkatan literasi iklim, penguatan kapasitas lokal, peningkatan manajemen pengetahuan, kebijakan konvergen tentang adaptasi perubahan iklim dan pengurangan risiko bencana, dan penerapan teknologi adaptif.
Dari situasi dan kondisi tersebut diatas, tindakan adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, khusunya pada sector pertanian berketahanan iklim yang inklusif (berpihak pada kelompok rentan : Petani miskin, perempuan, kaum muda, lansia, disabilitas), untuk proses percepatan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta percepatan pencapaian tujuan pembangunan. RPJMD Lombok Tengah tahun 2021 – 2026 merumuskan langkah strategis dalam pencapaian dan menjamin ketersediaan pangan daerah, berangkat dari peta jumlah desa berdasarkan prioritas kerentanan dan kerawanan pangan yang tergambar seperti grafik;
Pembangunan pada sector pertanian berkelanjutan di Kabupaten Lombok Tengah, bila tidak diwujudkan dengan menciptakan kebijakan dengan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan berketahanan iklim yang inklusif, maka akan berdapak lebih luas dan semakin memperpuruk tingkat kemiskinan di Lombok Tengah. Karena kebijakan ini akan sangat berdampak langsung pada masyarakat atau petani rentan dan masyarakat lainnya yang terpinggirkan seperti ; Kelompok miskin, Perempuan miskin, disabilitas, petani miskin dan buruh tani. Oleh karena itu, pembangunan pada sektor pertanian berketahanan iklim yang berkelanjutan harus mulai dilakukan dan diwujudkan dengan menciptakan kebijakan dengan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan berketahanan iklim yang inklusif, maka akan berdapak lebih luas dan semakin baik dalam percepatan pembangunan dan mengurangi tingkat kemiskinan di kabupaten Lombok Tengah.