Sejarah BUMDes LKM

Berbicara sejarah lahirnya BUMDes LKM tak bisa dipisahkan dari sejarah panjang ikhtiar melawan kemiskinan di negeri ini. Bermula dari sebuah proyek pengentasan kemiskinan bertajuk panjang Nusa Tenggara Agriculture Area Development Project (NTAADP) yang didanai Pemerintah dari pinjaman Bank Dunia. Proyek ini disetujui 17 Januari 1996 dan dilaksanakan di dua provinsi: Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Dua provinsi yang tergolong daerah miskin di Indonesia. Proyek NTAADP efektif mulai berjalan di lapangan pada 1997 dan berakhir pada 2003. Total anggaran yang dihabiskan mencapai 42,6 juta dollar Amerika dengan 63% berasal dari dana pinjaman bank Dunia dan 37% dari pemerintah. Proyek NTAADP bertujuan menanggulangi kemiskinan nasional melalui pemberian ban-tuan sarana pertanian yang disertai dengan pembangunan infrastruktur dan pemberian kredit mikro.

Di NTB sendiri NTAADP dilaksanakan di 6 Kabupaten: Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu, dan Bima. Setelah berjalan satu tahun, Dirjen Bangda dan Bank Dunia bersepakat mengubah arah proyek. Perubahan diambil setelah melihat fakta di lapangan ternyata pemberian kredit mikro sangat diminati masyarakat. Maka proyek NTAADP berubah nama menjadi Inisiatif Masyarakat Setempat-Nusa Tenggara Agriculture Area Development Project (IMS-NTAADP) dengan target waktu pelaksanaan yang sama. Pada waktu proyek IMS-NTAADP dilaksanakan di tingkat masyarakat, telah dibentuk kelembagaan di masing-masing desa yang berfungsi sebagai lembaga pengelola kredit yang dinamakan Unit Pengelola Keuangan Desa (UPKD). Di NTB telah berdiri 238 UPKD yang tersebar di 6 kabupaten: Lombok Barat 32 UPKD, Lombok Tengah 45 UPKD, Lombok Timur 35 UPKD, Sumbawa 45 UPKD, Dompu 24 UPKD dan di Bima 57 UPKD. Besarnya dana yang dikucurkan ke kelompok masyarakat rata-rata antara Rp 50 – 350 juta. Selama IMS-NTAADP berjalan, pembinaan, pengawasan dan pendampingan kelompok UPKD berada dalam kendali proyek. Setelah proyek berakhir, statusnya belum diserahterimakan dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. Namun demikian Pemprov maupun Pemkab tetap dituntut melakukan pendampingan dan pembinaan pasca proyek.

Selama kurun waktu dua tahun dari masa berakhirnya proyek, ternyata perkembangan pengelolaan UPKD mengalami pertumbuhan negatif bah-kan sebagian mengarah menuju kegagalan total atau bangkrut. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan GTZ, kinerja UPKD yang terus menurun perannya di tingkat masyarakat disebabkan beberapa faktor, yaitu: (a) masih ada UPKD yang tidak beroperasi, (b). kebutuhan masyarakat untuk mendapatkan akses keuangan mikro yang tak terpenuhi, (c). terjadi fraud atas pengelolaan kredit oleh pengelolanya, (d). anggapan masyarakat bahwa dana ini merupakan dana hibah sehingga tidak wajib mengembalikannya ke UPKD, dan (e). ketidakjelasan status hukum ownership atas dana yang beredar di masyarakat.

Menindaklanjuti hasil penelitian tersebut, GTZ-ProFI melakukan kerjasama teknis antara BMZ dengan pemerintah Indonesia melalui Bangda, Menkeu dan Bank Indonesia untuk melakukan revitalisasi dana bergulir eks NTAADP yang dikelola oleh UPKD. Semangatnya adalah membangun kembali kinerja UPKD untuk dapat berperan nyata di masyarakat dalam penyediaan/pelayanan akses keuangan dengan membangun tatakelola yang mengedepankan prinsip kehati-hatian. Untuk Provinsi NTB, MoU antara Pemprov dengan GTZ-ProFI tertuang dalam MoU Nomor 6 tahun 2005. Fase I dimulai bulan Maret 2006 Oktober 2008. Dalam implementasinya, dilakukan “Pilot” pada bulan Maret 2006 di Kabupaten Lombok Barat. Kemudian ditindaklajuti dengan implementasi MoU di 5 kabupaten (Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima dan Lotim) pada September 2006. Kemudian pada Febuari 2007 MoU dengan Kabupaten Lombok Tengah. Pada fase I ini, GTZ-ProFI melakukan revitasilasi dan konsolidasi UPKD yang tersebar di 7 Kabupaten di NTB.

Untuk mempermudah rentang kendali dan pendampingan serta pembinaan di tingkat lapangan, GTZ-ProFI membagi wilayah NTB menjadi 3 region: Region I meliputi Pulau Lombok, Region II meliputi Sumbawa dan Sumbawa Barat, Region III meliputi Dompu dan Bima. Masing-masing region dipimpin oleh seorang Deputi Micro Finance Advisor yang bertanggung jawab kepada Regional Micro Finance Advisor di tingkat provinsi NTB. Kegiatan revitalisasi ditempuh dengan strategi konsolidasi dan inventarisasi terhadap aset-aset UPKD. Untuk menjalankan strategi ini, skenario yang dijalankan adalah: Pertama, sosialisasi penawaran program kepada Pemdes dan Kecamatan, dimana kegiatannya dibagi menjadi: (1) Koordinasi antar team work konsultan lapangan, bertujuan untuk deseminasi program kepada konsultan, penyamaan persepsi, membuat jadwal kerja konsultan, penjelasan tugas pokok, peran dan tanggung jawab konsultan, pembekalan tim konsultan dan tim desa tentang teknis pelaksanaan sosialisasi dan konsolidasi, penjelasan rencana operasional. (2) Koordi-nasi antar instansi tingkat kabupaten dan deseminasi program, penyamaan persepsi, merencanakan kegiatan operasional untuk penanggulangan persoalan UPKD. Kedua, tahap konsolidasi, yang meliputi serangkaian tahap, mulai dari persiapan, koordinasi, hingga pelaksanaan kegiatan. Ketiga, Proses recovery UPKD/UsPKD. Keempat, On the job training, dan Kelima, layanan konsultasi peningkatan kapasitas baik dengan cara In Class Training (IST) maupun On the Job Training (OJT). Di tingkat praksis, tim GTZ-ProFI bersama Pemprov, Pemkab serta Pemdes dan tokoh-tokoh masyarakat melakukan konsolidasi terhadap tim desa dan data nasabah. Pekerjaan yang dilakukan sebangun dengan pekerjaan badan penyehatan perbankan nasional. Tim harus turun naik dari satu rumah ke rumah nasabah yang lain untuk mengklarifikasi dan menelusuri, menagih, menelisik, mencocokkan data pin-jaman dengan ingatan pembayaran pinjaman.

Pada 13 bulan pertama, pola pembayaran dari nasabah mulai terlihat ajeg. Oleh karena itu komitmen membayar nasabah ini diklasifikasi ke dalam empat kategori, yaitu: Pertama, nasabah dengan pola pembayaran ajeg tiap bulan, masuk kategori lancar/produktif. Kedua, nasabah dengan pola pembayaran kurang ajeg tiap bulan selama 3 bulan masuk kategori kurang lancar/ kurang produktif selama 4-6 bulan. Ketiga, nasabah yang pola pembayaran sangat tidak lancar 7-12 bulan masuk kategori diragukan, dan Keempat, nasabah yang tidak sekalipun membayar dikategorikan macet lebih 12 bulan. Maka pada bulan ke-13 mulailah diterbitkan laporan keuangan transisi dan neraca baru, yaitu laporan keuangan yang didasarkan neraca versi UPKD ke neraca baru Kelembagaan Usaha Pelayanan Kredit Desa (UsPKD). Laporan keuangan tersebut berdasarkan hasil inventarisasi pemutahiran data yang diuji dengan komitmen pembayaran nasabah sesuai perjanjian pembayaran antara nasabah (hasil reinventari-sasi) dengan pengurus UPKD.

Sampai dengan Oktober 2008 (bulan terakhir fase I), pola pembayaran nasabah yang ajeg dan konsisten kepa-da UsPKD terbangun dan UsPKD sudah beroperasi normal layaknya lembaga keuangan mikro di tingkat desa. Transaksi keuangan mengalami pertumbuhan dari bulan ke bulan. Komitmen pengurus sudah jelas, begitu juga persepsi nasabah sudah mulai lurus, tidak ada lagi suara-suara dana hibah yang tidak perlu dikembalikan ke UPKD. Hasil revitalisasi pada fase I tersebut mencatat, dari 238 UPKD, seba-nyak 163 UPKD yang mengikuti program, dan 102 di antaranya kembali aktif berjalan.

Dari UPKD Ke BUMDes LKM

Pasca fase I, UsPKD masih memerlukan pembinaan lanjutan agar peran dan statusnya menjadi jelas di tengah masyarakat. Oleh karena itu, GTZ-ProFI melakukan perpanjangan pembinaan ke fase II pada September 2008 hingga Juni 2010. MoU dengan Pemprov yang dituangkan dalam nota kesepakatan nomor 415.41/14 tahun 2008 dan kemudian diikuti oleh MoU di tingkat Kabupaten. Fase II ini lebih ditekankan pada upaya peningkatan status kepemilikan dan peraturan yang menaungi kelem-bagaan tersebut di tingkat pusat hingga daerah. Hal tersebut berdasarkan permasalahan yang ditemui selama pembinaan di lapangan, di mana peraturan dan status kepemilikan UsPKD di tingkat desa belum jelas. Tim GTZ-ProFI melakukan kajian Peraturan Perundang-undangan tentang kelembagaan keuangan mikro yang sesuai dengan wilayah pedesaan. Dari kajian dan diskusi yang dilakukan dengan tim pusat hingga daerah, ba-ngunan LKM yang sesuai di desa adalah Badan Usaha Milik Desa Lembaga Keuangan Mikro (BUMDes LKM). Namun demikian BUMDes LKM ini didesain secara terpisah dari unit-unit usaha lainnya, berdiri sendiri, serta kepemilikannya atas nama Pemerintah Desa. Bertitik tolak dari hipotesis ini, maka tim GTZ-ProFI pada tahap awal memperjelas status hukum kepemilikan dana bergulir eks IMS-NTAADP. Dana terlebih dahulu harus diserahkan dari pemerintah pusat ke daerah. Kemudian Pemprov akan menyerahkan ke Pemkab, dan Pemkab menyerahkan ke Pemdes. Proses serah terima tersebut dilaksanakan secara berjenjang. Pada November 2008 diserah terimakan dari Pemerintah Pusat ke Pemprov NTB. Kemudian pada 11 Desember 2008, Pemprov NTB menyerahkan ke seluruh Pemkab di NTB. Setelah itu, masing-masing Pemkab menyerahkan ke Pemdes di Kabupaten masing-masing pada waktu yang berbeda. Pemkab Lobar pada 24 Desember 2008, Pemkab Lotim pada 24 Januari 2009, dan Pemkab Sumbawa pada 7 Februari 2009.

Dasar Hukum pendirian BUMDes LKM

Meskipun serah terima aset telah selesai, namun tidak serta merta BUMDes LKM dapat didirikan, karena payung hukum di tingkat Pemkab belum ada. Oleh karena itu, maka proses berikutnya adalah masing-masing Pemkab didorong untuk membuat Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di daerah masing-masing. Upaya itu memperoleh sambutan positif sehingga beberapa peraturan tentang BUMDes LKM dapat dihasilkan, seperti Peraturan Daerah, Peraturan Bupati, Surat Edaran, Ijin Operasional Bupati, serta Peraturan Desa. Pada akhir perjalanan fase II (Juni 2010), di NTB telah berdiri 26 BUMDes LKM kelas A, yaitu sehat berdasarkan faktor kecukupan permodalan, faktor kualitas KYD, faktor kemampuan menghasilkan laba, dan faktor kemampuan membayar hutang jangka pendek (CAEL) dan laporan keuangan yang terbit secara bulanan. Setelah payung hukum di tingkat Kabupaten tersedia dan kelembagaan BUMDes LKM dinyatakan sehat, maka BUMDes LKM di provinsi NTB sudah memenuhi syarat sebagai sebuah lembaga keuangan mikro milik Pemerintah Desa yang mampu memberikan pelayanan akses keuangan bagi masyarakat di tingkat desa masing-masing. (Suyono)